Wednesday, July 1, 2009

FIRST SIGHT

Seperti biasa, hari ini begitu panas, tak kusangka ternyata hari ini aku sudah harus sekolah setelah liburan panjang menjelang tahun ajaran baru. Terbiasa bangun siang di hari libur membuatku susah untuk bangun dan berdiri. Kepalaku pusing, jantungku sedikit berdebar kencang karena kaget oleh suara alarm dari handphoneku yang standar ini. Aku tak bisa meminta handphone yang bagus. Karena hidupku sederhana.

Yaa.. apa mau dikata aku Cuma tinggal bersama ibuku. Ayahku sudah meninggal. Dulu dia seorang pejabat tinggi, bekerja di kedutaan besar Amerika untuk Indonesia. Dia meninggal sepulang dari Amerika, karena pesawat yang ditumpanginya terjatuh. Ibuku sangat kacau setelah itu. Karena aku masih sangat kecil dan baru lahir kira-kira 3 bulan. Akupun sudah terbiasa hidup tanpa ayah. Wajah ayahku saja aku tak tahu persis. Aku Cuma bisa melihat dari foto-foto album yang sering ibuku kumpulkan.

Sejak kecil sebelum tidur aku sering dibacakan cerita putrid-putri dari negri dongeng. Buku cerita seperti itu banyak sekali di rumahku. Bonekanya tak kalah banyak, gaun-gaunku dan baju-bajuku semua bergambar princess berwarna pink. Padahal aku ini sudah kelas 9 smp. Tapi kata teman-temanku dengan berpakaian dan bergaya seperti itu aku menjadi beda dari yang lain.

Aku mulai keluar dari kamarku yang kecil ini. Warnanya pink dengan wallpaper princess dan boneka-boneka. Kasur single, lemari kecil, meja belajar dengan laptop, dan kaca serta meja rias di bagian timur samping kanan kasurku. Rumahku juga kecil. Untuk apa rumah besar? Yang tinggal hanya seorang ibu kantoran dan anak smp. Rumahku kecil tapi 2 lantai, aku tidur di lantai 2 dan ibuku di lantai 1. kegiatanku lebih sering dibawah dan dikamarku. Dibawah ada tv dan dapur. Diatas aku belajar, internet, dan tidur. 

Huaah, terlalu lama aku berjalan menuju kamar mandi. Malas sekali aku menyusuri tangga rumahku yang pendek ini. Ibuku sedang masak untuk aku sarapan. Aku tak suka makan roti karena tidak terbiasa. Jadi aku lebih sering makan-makanan seperti nasi goreng dan bubur di pagi hari. Begitu lebih enak dan mengenyangkan menurutku. Aku ini sangat sering makan dan cinta makanan. Tapi aku tidak overweight. Badanku bagus dan tinggi. Teman-temanku iri, karena banyak makan badanku tetap saja bagus.

Setelah mandi air hangat, aku memakai baju lalu sarapan. Setelah itu berngakat ke sekolah diantar ibuku yang juga ingin ke kantor. Ibuku seorang direktur pemasaran di perusahaan Mattel Indonesia. Jadi ibuku masih dapat menopang kebutuhan keluarga kecilnya. Sampailah aku di Toutooth School, Dutch International Junior High School. Sekolah swasta internasional dari Belanda. Tak semua anak disini bule dari Belanda. Malah menurutku anak Jakartanya lebih banyak.

Aku langsung ke kelas dan belajar seperti biasa. Lalu makan siang di kafetaria. Disini aku merasa senang pergi ke sekolah. Melihat cowo-cowo disini yang ganteng-ganteng. Aku mencari Prince Charming ku yang kuyakin suatu saat akan dating. Terlalu banyak membaca cerita dongeng membuat pikiranku menjadi kedongeng-dongengan. Aku percaya bahwa Dreamland seperti negri dongeng itu ada. Dan suatu saat aku akan kesana terbang bersama My Prince Charming. Yap, My Prince Charming.

Tapi, aku merasa ada lelaki asing disini, aku sudah pernah melihat semua cowo angkatanku. Dan yang ini? Oh tuhan, aku belum pernah melihat yang semenawan ini. Tidak, tidak mungkin ini prince charming ku. Bisa lihat wajahku dan wajah Marissa Wibisono. Perempuan berdarah campuran, Sunda- Jawa- Belanda. Rambutnya coklat muda menuju pirang. Kulitnya putih agak pucat. Dibagian hidungnya terdapat banyak bintik-bintik coklat tua seperti bule belanda. Dengan mata tajam berwarna hijau. Badannya tinggi, tinggi sekali, seperti model belanda yang cantiknya tak tertahankan.

Oh, bandingkan dengan wajahku, kulitku putih bule, rambutku coklat biasa, agak bergelombang dan panjang. Mataku coklat tapi warna coklatnya seperti soflens. Itu karena ibuku orang Jawa asli sedangkan ayahku bule. Sungguh tak ada apa-apanya. 

Kembali kutatap lekat-lekat cowo baru itu. Sampai suatu panggilan membuyarkan lamunanku.
“Charlotte Shelly Colvin!” aku langsung tersentak. Ternyata Meghan dan Garret. Mereka bestiesku. Setiap hari aku main dengan mereka. Meghan ketua cheers wajahnya cantik, Garret anggota basket ganteng juga. Tapi kuyakin dia bukan prince charmingku. Dia best man ku. Tapi kalau dipikir-pikir semua anak disini wajahnya tidak buruk. Semua cantik dan ganteng. Walaupun anak Jakarta mereka pasti ada keturunan bule.

“Gausah pake nama panjang segala kek. Nyantai dong” sewot banget aku hari ini.
“gimana ga nyantai kau sudah kupanggil berkali-kali” Meghan membalas. Dan sekarang Garret yang berbicara.
“Aku tahu, kau pasti memperhatikan Arthur anak baru itu kan?”
“Apa? Siapa? Arthur? Tahu darimana kau? Maksudku? Tau dari mana kau nama anak itu?” oh, jadi anak baru itu bernama Arthur. Kau tahu apa yang terpikirkan olehku mendengar Arthur? Ya, Prince Arthur.

“Dia bukan Prince, Prince Arthur kan? Bukan Pangeran, Pangeran kerajaan, Pangeran Arthur??” aku bertanya dengan agak gelisah entah mengapa aku gelisah.
“hahahahahaha” Meghan dan Garret tertawa keras. 
“We are in Jakarta, Indonesia. Not in Dreamland, dreaming girl?” Meghan emang cinta laura. Bahasanya campur-campur. Apalagi kalau marah yang keluar inggris semua dengan logat aneh cepat dan susah dimengerti.
“Meghan, But, but, I- I- I know. But, wajahnya? Apakah begitu wajah orang biasa? See the conection?”
“Jangan aneh-aneh. Kita di Indonesia.” Garret lebih suka berbahasa Indonesia.

Akupun terdiam, mulai memakan spaghetiku yang mendingin. Terlalu banyak berbicara dan bengong aku hari ini. Sungguh tak penting. Kumakan sedikit-sedikit makananku yang dingin ini, terus menatapi Arthur. Ah, benci aku mendengar hampir semua anak disini namanya begitu-begitu saja. Aku ingin nama yang ke Indonesiaan. Seperti Marissa, itu agak ke Indonesiaan. Tapi namaku saja seperti ini, Shelly, Sok bule. Agak Indonesia sih kalau kau memanggilku, Seli.

Kulihat Arthur dan teman-temannya yang sepertinya anak baru juga. Sepertinya itu temannya Arthur dari tempat asalnya. Tapi aku kurang tertarik melihatnya. Wajah bule biasa yang sudah sering kulihat disini. Yaah, tidak, Dia mulai berjalan, aku tidak bisa menatapnya lagi. Tapi aku tak melepas tatapanku selagi dia masih terlihat. Tapi, mengapa dia seperti berjalan kemari? Menghampiriku, menatapku, melihatku. Tidak, dia benar-benar menghampiriku. Apakah dia merasa terganggu dilihat olehku sedalam itu. Apa yang harus kukatakan kalau dia marah karena tidak suka? Mau kusimpan dimana wajahku ini?

“Hai, my name is Arthur. Are you looking at me? Anything wrong with me?” suaranya menenangkan, charming. Oh, no, Charming, Prince Charming.
“Oh, maaf, eng-engga-engga kenapa-kenapa. Just- i- just- I- I just feel strange. I never see you. Aku yakin kau anak baru disini. Oh, sorry you can’t speak Indonesia. I mean…” omonganku yang gelagapan ini dipotong olehnya.
“Engga kok, aku ngerti dikit-dikit. I just need a little practice. Oh, iya, aku anak baru disini. Kau pasti sudah senior. Oh yeah, I forgot to ask your name. What is your name Senior?”
“Cha- Charlotte Sherlly Colvin, oops, wrong, Charlotte Shelly Colvin, oh sorry, just call me Colvin. Eh, bukan, Charlotte. Oh, eh, Sherlly, oops, Shelly. Yeah just call me Shelly.”

“Kenapa kok awkward banget sih? Canggung banget? Do I dazzle you?” Oh tuhan, apa yang harus kukatakan? Masa aku harus jujur dan bilang iya dan bakal malu sampai aku lulus satu tahun lagi? Pertanyaan menjebak. Do I dazzle you? Aku pernah membacanya di cerita dongeng era terbaru, twilight. Saat Edward Cullen menanyakan begitu kepada Isabella Swan. Do I dazzle you? Oh Gravity, let me fall. Oh yeah, I have fall, fallin in love.

1 comment:

  1. ehehehe tutut school....
    mal, request dong karakter yg pokoknya bawa nama edi gargegi ! mau edi laurent apa laurent gathegi terserah

    ReplyDelete