Saturday, July 18, 2009

UNDANGAN

“a-a-a-apa? Yasudah, aku tahu kau leleah. Kalau orang lelah pikirannya kemana-mana. Bener kan? Ayo, itu sopirku sudah menunggu!”
“apa? Kau tidak bisa mengusirku? Aku masih ingin disini!” 

Dia tidak menjawab. Hah, masa bodohlah, urusan apa aku dengan dia? Seolah aku pacarnya dan begitu peduli. Walaupun dia memang ganteng tapi kalau belagu seperti itu apa gunanya. Buat apa juga aku memaksa-maksa aku ingin tetap dirumahnya. Aku langsung berlari keluar rumah besar dan penuh kebohongan ini. Tak perlu repot-repot membuka pintunya yang besar ini aku sudah dibukakan oleh “pengawal-pengawal kerajaannya” ini. 

Hah, sudahlah, kalaupun dia pangeran apa untungnya buatku? Memangnya aku bakal mendapat uang? Tidak, aku tidak akan mendapat uang, tapi aku akan mendapatkan kenyataan yang selama ini diceritakan di dongeng-dongeng. Aku tidak perlu mengkhayal lagi. Aku sudah disini. Ya, aku sudah disini, aku hampir mendapatkannya. Aku hampir mendapatkan prince charmingku dan keindahan negri dongeng. Aku tidak perlu menyebutnya dongeng lagi, tapi true life story. Oh my god bagaimana aku ini?

Aku sudah sampai di mobilnya. Duk, duk, duk, duk, kupentok-pentokkan kepalaku dimobil bodoh ini. Sadar, dreaming girl, sadar. Aku terlalu banyak mengkhayal. Bagaimana kalau yang dikatakan Arthur benar. Dia Cuma cowo biasa. Dan foto itu hanya foto studio. Dan rumahnya hanya karena kebetulan dia kaya. Dan orang-orang itu hanya pembantu rumah tangganya. Ya, mungkin Arthur benar. Aku harus mempercayai itu.

Hari demi hari berlalu. Aku sudah tidak mempedulikan omong kosong tentang negri dongeng. Ingin rasanya aku membakar semua buku-buku dongeng ku. CERITA DI DONGENG TAKKAN PERNAH JADI KENYATAAN. Itulah alas an mendasar aku ingin membakarnya. Tapi, aku tidak membakarnya. Itu kenanganku semasa kecil. Jadi kuputuskan untuk hanya tidak menyentuh dan membacanya lagi. dan aku lebih sering membaca buku pelajaran. Sekolah semakin susah saja. Dan disanalah sekarang aku berdiri.

“Shelly, Mba Seli!” Meghan, Meghan, ada ada saja memanggilku seperti itu. Meghan tau aku tidak suka dengan nama-nama sok bule. Ya, biarlah, namaku lebih bagus begitu sepertinya, sok bule.
“Kenapa? Berisik banget. Kan di lorong sekolah ga boleh lari-lari.” Garret menyusul dari belakang Meghan. Mereka selalu bersama-sama. Aku pernah mengusulkan mereka untuk pacaran. Tapi, mereka malah tatap-tatapan dan tertawa yang kencang. Huh, kan idenya bagus. Ternyata Meghan sependapat denganku, Garret adalah Best Man kami berdua. Ya, kuterima itu.

“Kau tau? Arthur mau membuat pesta perayaan kemenangan Tim Futsal Toutooth Dutch International Junior High School di rumahnya malam ini!! AAAAAAA!!!!”
“ah! Masa? Aku engga dapet undangannya? Yaahhh, kok jahat sih?”
“Ah, masa? Check aja lokermu aku juga dapet dari dalem loker. Kayaknya dimasukkin lewat ventilasi.”
“Oh, yayaya, aku belom ngecheck loker”
“You better hurry up”
“Hei Garret! Hihihi” kutampar pelan wajahnya. Kalau sedang berbicara lemas seperti itu wajahnya lucu dan aneh. Aku langsung berlari ke loker. Tak kusangka Meghan juga ikut berlari. Karena aku dan Meghan berlari terpaksa Garret berlari juga. Padahal kan ini dilorong, tidak boleh berlari. Ah, siapa peduli, osisnya juga ga ada.

Kubuka lokerku cepat. Dan amplop putih cerah merosot dari lokerku. Dengan pita besar disampingnya amplop itu terlihat sangat lucu. Bahannya pun licin dan keras. Hebat sekali, mau buat pesta perayaan kemenangan saja seperti sudah mau kawinan. Kubuka dalamnya perlahan-lahan membuka amplopnya agar tidak rusak. Biar aku bisa memajangnya dikamar. 

Kertas di dalamnya perpaduan warna emas dan putih. Pestanya diadakan malam ini, di CASTLE CAFÉ. Apa? Castle café? Café dimana tuh? Aku yang sudah melupakan urusan omong kosong dongeng ini pun kembali teringat masa-masa aneh. Dan anehnya cafenya tak jauh-jauh dari rumahnya. Petanya pun disediakan agar tidak tersesat. Lagipula, siapa sih yang tahu alamat asing seperti ini. Mana ada café terpencil seperti itu. 

Dress code nya mudah, feel like a prince and a princess. Aku sudah banyak baju princess-princessan. Aku mau pakai baju Cinderella aja. Itu gaunku yang terbaru. Ibuku baru saja membelikannya karena minggu lalu ibuku melihat harga gaun ini sangat murah dan bagus. Sepatu kaca aku juga punya, sudah lama tapi masih muat karena pertumbuhan kakiku yang lambat sehingga tersa tidak tumbuh. 

Sepatu ini dibeli saat sedang jama-jamnnya sepatu kaca, tapi ini kaca benran kok. Bukan yang palsunya. Teganya ibuku yang penggemar dongeng mebelikan sepatu kaca palsu. Ibuku jago urusan salon-salonan. Sebelum menikah ibuku ikut kursus salon menyalon. Jadi jadi pasti ibuku bisa dengan sangat mudah menyanggul rambutku seperti Cinderella. Tak perlu diberi hair spray warna kuning. Cinderella juga pantas menggunakan rambut coklat.

Aku pun memutuskan untuk naik mobil bareng Meghan dan Garret nanti malam. Sopirnya Garret yang akan mengantar kesana. Garret memang baik, aku sayang sekali pada Garret. Dia tidak aneh bermain dengan kami berdua, aku dan Meghan. Meghan ingin memakai gaun besar biasa. Bukan mengikuti cerita dongeng. Dan Garret ingin memakai jas-jas sangat rapih seperti Pangeran Harry atau Pangeran William. Katanya pangeran zaman moderen. Aku ikuti saja kata-katanya.

Aku sudah sampai rumah. Aku tapi belum meberitahu ibuku. Kalau diberitahu pasti kesenengan. Dan ternyata benar. Ketika kuberitahu ibuku langsung sibuk sendiri mencari-cari perlatan make-upnya. Dan akupun langsung mandi air hangat, setelah itu berpakaian. Memakai bajunya gampang. Selain karena model gaunnya biasa dan aku sudah terbiasa memakai gaun. Rambutku langsung ditarik-tarik oleh ibuku. Berusaha meluruskan rambutku agar disanggulnya lebih bagus dan rapih.

Setelah jadi aku di make up. Tipis saja, Cuma mau di café doang. Setelah itu mencoba sepatu kacaku. Syukurlah masih muat. Aku berputar-putar di kaca dan menyadari aku lumayan cantik. Tapi, pasti setelah melihat Marissa, Melanie, dan Zara aku pasti menunduk sendiri. Kusebut mereka Geng Cantik. Tapi mereka ga sombong kayak di film-film gitu. Ada geng yang belagu-belagu. Terus lebih kerennya lagi mereka kesana udah sama pacarnya masing-masing.

Pacarnya juga Ganteng-ganteng. Marissa pacarnya namanya Fadhil, dia sekelas denganku. Dan untungnya dia bisa mengalahkan tingginya Marissa, kalau engga bisa malu sendiri. Dan Melanie pacarnya Hegy, badannya besar, tapi engga gendut. Dan Zara pacarnya Riley. Rambutnya keriwil-keriwil lucu gitu. Seneng ngeliat rambutnya. Tapi tetep ganteng. Dan yang terganteng dari 3 cowo itu pacarnya si Marissa. Dan yang terjelek pacarnya Melanie. Soalnya badannya serem.

Garret sudah menjemput, setelah berpamitan dengan ibuku aku berangkat. Garret membawa mobil alphard, katanya biar gaunnya Meghan bisa masuk. Soalnya emang beneran gede. Dalemnya dikasih kawat gitu biar ngembang. Agak jaman dulu tapi bagus. Mungkin putrid dari kerajaan jaman dahulu. Dan benar, Garret hanya pakai tuksedo. Celana bahan panjang, kemeja putih bergaris-garis hitam, dasi warna merah terang, dan jas hitam rapih. Heks, lebih ganteng dari biasanya dia.

Aku masih sempat berkomentar panjang tentang baju Garret. Dan dia tidak capek mendengar aku berbicara panjang dan cepat. Yah, sekali lagi Garret memang baik. Dan setelah agak pusing membaca peta sampailah aku di Castle Café. Ya, benar, seperti yang kubayangkan, ini memang istana. CASTLE.

Thursday, July 9, 2009

PERTANYAAN

“engga kok, biasa kali” hah, aku berbohong saja. Lebih baik begitu daripada dilihat engga enak sama orang-orang, lalu pelajaran dilanjutkan seperti biasa. Aku belajar dengan benar. Tidak ada lagi pikiran tentang Arhur. Hah, buat apa juga aku memikirkan dia. Dia masih anak baru disini.sedangkan aku sudah senior. 

Jam waktu pulang pun dating. Aku sudah terbiasa pulang sekolah menggunakan busway. Tapi aku harus melewati banyak koridor karena rumahku agak jauh. Ya kira-kira 15an koridor busway. Tapi aku sudah terbiasa. Buat apa juga aku memiliki supir kalau yang diantar jemput hanya aku saja. Menghabiskan uang saja.

Aku mulai berjalan ke bagian gerbang sekolah. Tapi, ternyata sedang hujan. Mana aku harus berjalan cukup jauh menuju koridor busway. Hah, aku pasti bawa payung. Kuacak-acak tasku. Ternyata percuma, mau kuacak-acak sampai si penjaga gerbang jenggotan payungnya tidak bakal ada. Yasudah aku kembali ke dalam sekolah saja. Ada akses internet kok di perpustakaan. 

Kembali masuk ke sekolah membuatku malas. Aku ingin cepat pulang bermain dengan Domba, kucingku yang lucu itu. Kunamai domba karena dia kucing Persia dengan bulu yang lebat seperti domba. Tapi dia bulunya lurus. Aku juga sudah mengantuk. Tapi kalau main internet pasti aku segar kembali. Aku mulai membuka facebook dan chatting lewat msn. Tak terasa sudah 2 jam. Aku pulang jam 2 dan sekarang sudah jam 4. aku harus cepat pulang.

Wah, ternyata sekolah sudah sepi. Hanya ada anak-anak futsal yang baru selesai bermain futsal. Sial, hujan masih deras. Aku harus apa? Koridornya jauh sekali. Mana hujannya hujan angin. Kalau aku hujan-hujanan nanti sakit tapi besok ada ulangan matematika. Kalau nanti ada pohon tumbang lalu aku tertimpa. Kalau aku meminjam payung juga percuma. Nanti aku malah kesambet petir. 

“Shelly?” siapa yang memanggilku?
“A-Arthur?” oh tidak aku jadi memikirkannya lagi. Ternyata Arthur ikut futsal. 
“bukannya seharusnya anak perempuan sudah pulang dari tadi? Hari ini kan eksulnya hanya futsal? Right?”
“oh, aku seharusnya naik busway, tapi hujan lalu aku bermain internet di perpustakaan. Lalu saat aku kembali hujannya malah tambah deras. Ya, aku harus menunggu sampai hujannya selesai.”
“tapi sekolah tutup jam setengah 5, dan sekarang sudah jam 4. kamu mau ikut denganku?”
“oh, tidak, engga, engga perlu repot-repot. Rumahku harus belok ke kiri. Aku yakin rumahmu belok kanan. Dan rumahku jauh sekali.”
“maksudku aku tidak mengantar ke rumahmu. Kamu ikut ke rumahku, terus nanti kamu dijemput dirumahku.”
“Apa? Ibuku yang menjemputku. Mana mungkin dia bisa. Ah, eh”
“ya, nanti kutelepon ibumu. Tidak mungkin kan aku membiarkan anak perempuan menunggu hujan deras kencang seperti ini berhenti untuk pulang sedangkan aku bisa membantu?”
“ah, iya, makasih” 

Apa? Aku ikut kerumahnya? Apa kata ibuku nanti. Ah, biarlah, aku memiliki alasan yang kuat. Dan Domba pasti bisa menumpahkan whiskas sendiri dari atas kandangnya. Mobilnya langsung dating. Mobilnya bagus, mewah, seperti limosin. Atau aku saja yang jarang naik mobil bagus jadi sehari-hari aku hanya memakai mobil Honda city. Sehingga mobil seperti ini saja aku norak. Oh tidak mobilnya memang bagus. Mercedess s class.

Dalamnya jok dibungkus kulit berwarna coklat muda. Dashboardnya memiliki warna senada dengan joknya. Wanginya pun enak, wangi kayu-kayu cendana. Aku pernah mencium kayu cendana dari souvenir pernikahan teman ibuku. Sopirnya berseragam tidak biasa. Memakai jas serba lengkap seperti di kerajaan dongeng.

Oh, aku tidak boleh berkhayal lagi. Tenryata membaca dongeng terlalu banyak dapat membuat halusinasi tinggi. Seharusnya dibelakang buku dongeng diberi tulisan seperti di bungkus rokok. Aku duduk dibelakang bersama Arthur. Wangi tubuhnya juga haru. Seperti parfum pria yang mahal. Baunya keras tapi tidak menyengat. Mengalir indah memasuki paru-paruku yang dipenuhi bau air hujan.

Rumahnya tak terlalu jauh. Aku sudah sampai, mulutku tak bisa bergerak. Rumahnya besar mewah seperti tempat transit raja. Besar, ya sama saja seperti rumah di sekelilingnya. Tapi modelnya seperti kastil mini. Seperti kastil Cinderella. Sudahlah, seperti kata Meghan aku memang dreaming girl. 

“ini rumahku” Arthur turun dari mobil. Tasnya dibawakan oleh supirnya. Pintunya dibukakan juga. Aku baru sadar ternyata sepanjang perjalanan aku membisu berkhayal berhalusinasi kemana-mana. Ah aku memang bodoh dan lugu. Aku menghambur keluar mobil dengan kasar. Sedangkan Arthur terlihat sangat luwes menghambur keluar dari mobil.

Aku masih diam saja. Pintu dibukakan dengan lebar. Oh my god, luas sekali ruang tamunya. Ini mubkin bukan ruang tamu. Mungkin ini lobby hotel. Ah aku memang norak. Suara pelan air yang mengalir memenuhi telingaku. Rumah ini banyak orang berseragam. Lantainya marmer licin mengkilat berwarna coklat. Langit-langitnya tingi sekali. Dindingnya seperti lukisan. Seperti mahakarya pelukis hebat.

Dengan memandang lurus panjang kedepan aku bisa melihat tangga besar melingkar. Kanan kiri ada jalan-jalan besar. Disini ruangannya sejuk walaupun aku tidak menemukan ac. Penjaga pintu tersenyum ramah kepadaku. Foto keluarganya terpampang besar di sudut kanan kir. Menggunakan baju ala kerajaan. Berfoto layaknya keluarga kerajaan. 

Ayahnya berjenggot panjang. Badannya gendut besar. Rambutnya sudah membotak di bagian atas. Mahkota besar menghiasi rambutnya yang botak. Ibunya cantik sekali, seperti memancarkan aura kecantikan. Rambutnya bergelombang coklat. Disamprikan ke bahu. Menggunakan mahkota kecil berlapis emas sepertinya. Dengan berlian-berlian menghiasi. Bajunya gaun mewah. Sungguh mewah.

Arthur juga sangat ganteng. Menggunakan mahkota hamper mirip dengan ayahnya namun berukuran lebih kecil. Bajunya kemeja yang juga hampir sama dengan ayahnya. Namun warnanya biru sedangkan ayahnya hijau. Bajunya menggunakan vest dipenuhi berlian. Berwarna abu-abu. Ayahnya duduk di singgasana ibunya berdiri disamping kirinya. Memegang singgasana. Arthur berdiri di bagian kiri memegang pedang yang dimasukkan ditempat pedang yang disimpan dibagian kiri celana.

 Aku mulai membuka mulut. Ingin bertanya yang aneh-aneh. Aku benar-benar harus bertanya apakah dia bangsawan atau bukan. Aku yakin pasti ada sesuatu yang aneh disini. 

“Arthur?” tanyaku pelan.
“Ya? Kenapa? Tidak masalahkan aku membawamu kesini? Ibumu bisa menjemput kan? Kalau tidak supirku juga bisa mengantarmu. Tapi tidak dengan mobil seperti tadi. Mobilnya biasa. Hanya nissan serena. Tidak masalahkan?”
“ah, tidak, tidak, ibuku bisa menjemput kalau kau bisa memberitahu. Tapi ibuku sangat buta arah. Dia sepertinya tidak pernah ke lingkungan sini. Ah, mungkin kau bisa mengantarku kembali ke rumah?”
“oh, ya, itu urusan mudah.”
“tapi, bukan itu yang ingin kutanyakan. Ah, maaf ya, tapi mungkin pertanyaanku ini agak aneh.” Entah mengapa Arthur tidak menjawab dia malah berwajah seperti ingin muntah. Aku harus bertanya.
“Arthur kau bukan pangeran kan?” sekali lagi wajahnya seperti ingin muntah.
“Arthur kau baik-baik saja kan?”
“yayaya, aku baik-baik saja. Tapi mungkin aku bisa membawamu ke rumah sekarang. Ibuku ah, eh. Bukan ah sopirku bisa mengantarmu kapan saja. Sepertinya kau harus pulang”
“tidak jawab saja dahulu pertanyaanku. Sejak aku melihatmu rasanya asing sekali. Aku ini memang maniak buku cerita dongeng. Jadi aku sering berhalusinasi. Tapi sejak melihatmu aku merasa. Kau tidak sama, kau seperti pangeran. Kau bukan pangeran kan?”

“y-y-ya yabukanlah. Dengan alasan apa kau bisa mengira seperti itu?” Arthur menjawab dengan gelagapan. Aku hanya bertanya seperti itu tapi mengapa rasanya dia begitu merasa aneh. Aku hanya bertanya. Kalau memang bukan pangeran seharusnya dia bersikap biasa.
“Tapi, aku aneh dengan foto keluargamu itu” aku menunjuk foto yang dari tadi kupelototi. Aneh, memang aneh.
“Apa yang aneh?” suaranya mulai meringan. Seperti sudah menemukan ide dan alas an untuk berkelit.
“keluargamu bagaikan keluarga raja. Baju, latar belakang suasana, wajah.”
“itu, hanya foto di studio. Ayo kuantar kau pulang”
“tunggu, tunggu, bukannya aku lancang. Aku merasa kau berbohong. Kau menyembunyikan sesuatu. Ditanya seperti itu saja kau sudah aneh. Makanya kau tidak ingin aku berputar rumah lebih jauh. Kau ingin aku cepat pulang. Kau merahasiakan sesuatu dariku. Kau, kau, kau, kau pangeran. Ya, aku tahu dan yakin sekarang, kau pangeran! “

Wednesday, July 1, 2009

FIRST SIGHT

Seperti biasa, hari ini begitu panas, tak kusangka ternyata hari ini aku sudah harus sekolah setelah liburan panjang menjelang tahun ajaran baru. Terbiasa bangun siang di hari libur membuatku susah untuk bangun dan berdiri. Kepalaku pusing, jantungku sedikit berdebar kencang karena kaget oleh suara alarm dari handphoneku yang standar ini. Aku tak bisa meminta handphone yang bagus. Karena hidupku sederhana.

Yaa.. apa mau dikata aku Cuma tinggal bersama ibuku. Ayahku sudah meninggal. Dulu dia seorang pejabat tinggi, bekerja di kedutaan besar Amerika untuk Indonesia. Dia meninggal sepulang dari Amerika, karena pesawat yang ditumpanginya terjatuh. Ibuku sangat kacau setelah itu. Karena aku masih sangat kecil dan baru lahir kira-kira 3 bulan. Akupun sudah terbiasa hidup tanpa ayah. Wajah ayahku saja aku tak tahu persis. Aku Cuma bisa melihat dari foto-foto album yang sering ibuku kumpulkan.

Sejak kecil sebelum tidur aku sering dibacakan cerita putrid-putri dari negri dongeng. Buku cerita seperti itu banyak sekali di rumahku. Bonekanya tak kalah banyak, gaun-gaunku dan baju-bajuku semua bergambar princess berwarna pink. Padahal aku ini sudah kelas 9 smp. Tapi kata teman-temanku dengan berpakaian dan bergaya seperti itu aku menjadi beda dari yang lain.

Aku mulai keluar dari kamarku yang kecil ini. Warnanya pink dengan wallpaper princess dan boneka-boneka. Kasur single, lemari kecil, meja belajar dengan laptop, dan kaca serta meja rias di bagian timur samping kanan kasurku. Rumahku juga kecil. Untuk apa rumah besar? Yang tinggal hanya seorang ibu kantoran dan anak smp. Rumahku kecil tapi 2 lantai, aku tidur di lantai 2 dan ibuku di lantai 1. kegiatanku lebih sering dibawah dan dikamarku. Dibawah ada tv dan dapur. Diatas aku belajar, internet, dan tidur. 

Huaah, terlalu lama aku berjalan menuju kamar mandi. Malas sekali aku menyusuri tangga rumahku yang pendek ini. Ibuku sedang masak untuk aku sarapan. Aku tak suka makan roti karena tidak terbiasa. Jadi aku lebih sering makan-makanan seperti nasi goreng dan bubur di pagi hari. Begitu lebih enak dan mengenyangkan menurutku. Aku ini sangat sering makan dan cinta makanan. Tapi aku tidak overweight. Badanku bagus dan tinggi. Teman-temanku iri, karena banyak makan badanku tetap saja bagus.

Setelah mandi air hangat, aku memakai baju lalu sarapan. Setelah itu berngakat ke sekolah diantar ibuku yang juga ingin ke kantor. Ibuku seorang direktur pemasaran di perusahaan Mattel Indonesia. Jadi ibuku masih dapat menopang kebutuhan keluarga kecilnya. Sampailah aku di Toutooth School, Dutch International Junior High School. Sekolah swasta internasional dari Belanda. Tak semua anak disini bule dari Belanda. Malah menurutku anak Jakartanya lebih banyak.

Aku langsung ke kelas dan belajar seperti biasa. Lalu makan siang di kafetaria. Disini aku merasa senang pergi ke sekolah. Melihat cowo-cowo disini yang ganteng-ganteng. Aku mencari Prince Charming ku yang kuyakin suatu saat akan dating. Terlalu banyak membaca cerita dongeng membuat pikiranku menjadi kedongeng-dongengan. Aku percaya bahwa Dreamland seperti negri dongeng itu ada. Dan suatu saat aku akan kesana terbang bersama My Prince Charming. Yap, My Prince Charming.

Tapi, aku merasa ada lelaki asing disini, aku sudah pernah melihat semua cowo angkatanku. Dan yang ini? Oh tuhan, aku belum pernah melihat yang semenawan ini. Tidak, tidak mungkin ini prince charming ku. Bisa lihat wajahku dan wajah Marissa Wibisono. Perempuan berdarah campuran, Sunda- Jawa- Belanda. Rambutnya coklat muda menuju pirang. Kulitnya putih agak pucat. Dibagian hidungnya terdapat banyak bintik-bintik coklat tua seperti bule belanda. Dengan mata tajam berwarna hijau. Badannya tinggi, tinggi sekali, seperti model belanda yang cantiknya tak tertahankan.

Oh, bandingkan dengan wajahku, kulitku putih bule, rambutku coklat biasa, agak bergelombang dan panjang. Mataku coklat tapi warna coklatnya seperti soflens. Itu karena ibuku orang Jawa asli sedangkan ayahku bule. Sungguh tak ada apa-apanya. 

Kembali kutatap lekat-lekat cowo baru itu. Sampai suatu panggilan membuyarkan lamunanku.
“Charlotte Shelly Colvin!” aku langsung tersentak. Ternyata Meghan dan Garret. Mereka bestiesku. Setiap hari aku main dengan mereka. Meghan ketua cheers wajahnya cantik, Garret anggota basket ganteng juga. Tapi kuyakin dia bukan prince charmingku. Dia best man ku. Tapi kalau dipikir-pikir semua anak disini wajahnya tidak buruk. Semua cantik dan ganteng. Walaupun anak Jakarta mereka pasti ada keturunan bule.

“Gausah pake nama panjang segala kek. Nyantai dong” sewot banget aku hari ini.
“gimana ga nyantai kau sudah kupanggil berkali-kali” Meghan membalas. Dan sekarang Garret yang berbicara.
“Aku tahu, kau pasti memperhatikan Arthur anak baru itu kan?”
“Apa? Siapa? Arthur? Tahu darimana kau? Maksudku? Tau dari mana kau nama anak itu?” oh, jadi anak baru itu bernama Arthur. Kau tahu apa yang terpikirkan olehku mendengar Arthur? Ya, Prince Arthur.

“Dia bukan Prince, Prince Arthur kan? Bukan Pangeran, Pangeran kerajaan, Pangeran Arthur??” aku bertanya dengan agak gelisah entah mengapa aku gelisah.
“hahahahahaha” Meghan dan Garret tertawa keras. 
“We are in Jakarta, Indonesia. Not in Dreamland, dreaming girl?” Meghan emang cinta laura. Bahasanya campur-campur. Apalagi kalau marah yang keluar inggris semua dengan logat aneh cepat dan susah dimengerti.
“Meghan, But, but, I- I- I know. But, wajahnya? Apakah begitu wajah orang biasa? See the conection?”
“Jangan aneh-aneh. Kita di Indonesia.” Garret lebih suka berbahasa Indonesia.

Akupun terdiam, mulai memakan spaghetiku yang mendingin. Terlalu banyak berbicara dan bengong aku hari ini. Sungguh tak penting. Kumakan sedikit-sedikit makananku yang dingin ini, terus menatapi Arthur. Ah, benci aku mendengar hampir semua anak disini namanya begitu-begitu saja. Aku ingin nama yang ke Indonesiaan. Seperti Marissa, itu agak ke Indonesiaan. Tapi namaku saja seperti ini, Shelly, Sok bule. Agak Indonesia sih kalau kau memanggilku, Seli.

Kulihat Arthur dan teman-temannya yang sepertinya anak baru juga. Sepertinya itu temannya Arthur dari tempat asalnya. Tapi aku kurang tertarik melihatnya. Wajah bule biasa yang sudah sering kulihat disini. Yaah, tidak, Dia mulai berjalan, aku tidak bisa menatapnya lagi. Tapi aku tak melepas tatapanku selagi dia masih terlihat. Tapi, mengapa dia seperti berjalan kemari? Menghampiriku, menatapku, melihatku. Tidak, dia benar-benar menghampiriku. Apakah dia merasa terganggu dilihat olehku sedalam itu. Apa yang harus kukatakan kalau dia marah karena tidak suka? Mau kusimpan dimana wajahku ini?

“Hai, my name is Arthur. Are you looking at me? Anything wrong with me?” suaranya menenangkan, charming. Oh, no, Charming, Prince Charming.
“Oh, maaf, eng-engga-engga kenapa-kenapa. Just- i- just- I- I just feel strange. I never see you. Aku yakin kau anak baru disini. Oh, sorry you can’t speak Indonesia. I mean…” omonganku yang gelagapan ini dipotong olehnya.
“Engga kok, aku ngerti dikit-dikit. I just need a little practice. Oh, iya, aku anak baru disini. Kau pasti sudah senior. Oh yeah, I forgot to ask your name. What is your name Senior?”
“Cha- Charlotte Sherlly Colvin, oops, wrong, Charlotte Shelly Colvin, oh sorry, just call me Colvin. Eh, bukan, Charlotte. Oh, eh, Sherlly, oops, Shelly. Yeah just call me Shelly.”

“Kenapa kok awkward banget sih? Canggung banget? Do I dazzle you?” Oh tuhan, apa yang harus kukatakan? Masa aku harus jujur dan bilang iya dan bakal malu sampai aku lulus satu tahun lagi? Pertanyaan menjebak. Do I dazzle you? Aku pernah membacanya di cerita dongeng era terbaru, twilight. Saat Edward Cullen menanyakan begitu kepada Isabella Swan. Do I dazzle you? Oh Gravity, let me fall. Oh yeah, I have fall, fallin in love.

PENDAHULUAN


Aku, tidak tahu apa-apa. Bagaimana bisa, pangeran yang sempurna seperti yang selama ini aku bayangkan bisa hadir dalam hidupku. dan dia bukan hanya pangeran untukku, tetapi pangeran sungguhan dari negri impian. dan aku yang menjadi putrinya. sungguh, aku cuma gadis pemimpi biasa, tanpa bakat. tapi ternyata semua mimpiku menjadi kenyataan. dan, entah mengapa aku ingin lari. aku tak ingin menjadi putri di dunia dongeng. Dan pangeran pun berkata, 
"i already here princess, what are you waiting for?"